Harapan VS Orientasi Mental

Tak ada bedanya saya dengan yang lain.

Saya ingin memiliki masa depan yang membahagiakan. Saya, seperti yang lainnya, punya ekspektasi dan bayangan akan masa depan kita. Entah akan datang kapan, tapi kita punya harapan. Konsekuensinya sering kali hidup kita hari ini jadi dikendalikan penuh akan ambisi kita tentang masa depan itu sendiri.

Hidup kita jadi dibayangi dengan berbagai ketakutan. Kita takut untuk melakukan hal baru, bertemu dengan teman baru, pergi ke tempat yang baru. Kita takut mengambil resiko. Kita takut bahwa kita akan kehilangan apa yang kita miliki saat ini. Atau bahkan kita takut kehilangan sesuatu yang juga bukan milik kita, tapi kita hanya takut saja dengan konsepsi kehilangan itu sendiri.

Saya jadi teringat pada saat pertama kali masuk kuliah. Saat itulah rasanya saya memulai harapan baru pada fase hidup saya. Meskipun masuk di kampus yang tidak bagus bagus amat, rasanya ambisi untuk meraih suksesi benar benar mendapat energi yang besar.

Saya selalu menyadari akan pilihan pilihan yang akan menentukan masa depan saya nanti. Termasuk memilih institusi pendidikan. Sekarang saya sudah memasuki semester 5, rasanya tidak etis jika hari ini saya memiliki penyesalan atas pilihan saya dahulu. Saya sering berkilah, dibalik banyaknya keterbatasan selalu ada energi kebangkitan. Dan saya selalu harus merasa bangkit, tidak boleh lengah atau menyerah dengan pilihan yang sudah diputuskan.

Sebenarnya banyak perasaan indah saat saya pertama kali masuk kuliah. Segalanya jadi penuh harapan. Saat itulah saya banyak memikirkan bagaimana jika saya menjadi seorang akademisi yang hebat, kuliah lancar karier-pun lancar. Memikirkan banyak kegiatan seru di kampus, dan tentunya berencana untuk memiliki jejak rekam sebagai mahasiswa yang berprestasi.

Yang pasti, pandangan saya saat itu sungguh luas. Melihat jurusan yang saya ambil saat ini (komunikasi) penuh dengan harapan dan menyenangkan.

Tak lama kemudian, pandangan saya menjadi menyempit. Rasanya hal hal yang menyenangkan ini beralih menjadi beban. Hal tersebut diawali ketika saya mengikuti masa orientasi jurusan. Mungkin pandangan saya berbeda dengan teman teman lain. Sesaat kegiatan ini menghapus harapan-harapan saya. “Bagaimana kamu mau menghadapi redaktur kamu, kalo ngomong aja gak becus!”, “Ini penggemblengan mental, baru segini aja cemen udah mewek, gimana kalo kamu udah kerja nanti?”, “Kami (senior) marahin kalian karna kami sayang sama kalian, di lapangan (kerja) nanti akan lebih dari seperti ini!”, dan bla bla bla yang lainnya. Kalimat-kalimat tersebut yang kami terima pada saat orientasi lalu. Kalimat yang cocok untuk para pekerja dan buruh yang tidak mau di atur, mungkin. Disitulah kacamata saya untuk memandang kampus ini rasanya terinjak injak.

Saat itu, saya merasa dirasuki oleh para senior dan alumni dari departemen saya, bahwa saya dan teman teman lainnya harus menjadi apa yang mereka lihat untuk jurusan kami. Tapi saya sadar, saya tidak akan bisa menjadi profil yang mereka inginkan. Bahwa jurusan saya adalah jurusan terbaik dan mempunyai mahasiswa yang fanatik terhadap bola, bahwa jurusan saya memiliki para mahasiswa yang bermental baja “bukan tempe”, bahwa anak jurnal itu harus seperti ini dan itu, dan seterusnya.

Selepas orientasi dilaksanakan, malah teman teman lain mendapatkan animo yang lebih untuk eksis di lingkungan departemen saya. Sebaliknya, saya jadi merasa potensi saya melemah dan tidak ada dorongan untuk aktif di himpunan atau sebagainya. Apa mungkin saya menjadi introvert saat itu, saya pikir.

Saya tidak bermaksud mengeluh, menyesali ataupun menyalahkan pihak lain dicerita ini. Sesungguhnya saya patut bersyukur atas hari ini. Saya selalu bahagia, menjalani kuliah dengan semestinya, bertemu dengan teman teman yang berbeda pandangan sekalipun. Ternyata saya berbeda, dan itulah yang menjadi potensi saya hari ini, saya rasa. Jadi saya tidak perlu mengkritisi sistem orientasi jurusan yang sudah tidak relevan dengan zaman sekarang, atau mengutuk kegiatan senior alumni yang tidak sepadan dengan passion kita.

Beberapa saat lalu, jurusan saya melaksanakan kegiatan orientasi tersebut untuk mahasiswa baru. Masih dengan cara cara lama yang sedikit di modifikasi, kegiatan tersebut berlangsung lancar (dari perspektif panita hehe). Dibalik itu semua, katanya ada seorang mahasiswa baru yang ngeyel dan mengkritisi kegiatan orientasi melalui sosial media. Dia keukeuh kalau orientasi yang semacam jurusan saya laksanakan adalah kegiatan yang tidak bermanfaat dan hanya sebagai ajang balas dendam saja, sekalipun ia tidak mengikuti kegiatannya.

Setelah direnungi jauh jauh. Sebenarnya apa yang saya rasakan saat itu mungkin sama dengan kasus mahasiswa baru yang mengkritik habis habisan kegiatan orientasi ini, kami merasa terkurung dengan kekuasaan dan kekuatan para senior senior kami. Dan rasanya kami sudah lumayan banyak menghabiskan waktu untuk mengeluh dan mengutuk (mengkritik) keinginan mereka. Tidak sadar jikalau kita sepatutnya harus segera menemukan apa yang benar-benar berarti untuk kita.

Esensinya adalah jika kita merasa memiliki pengaruh atau pengalaman lebih dari orang lain, sepatutnya jangan paksa orang lain agar memiliki pandangan yang sama dengan kita. Lebih baik sampaikan dengan elok dan etis, berikan kesempatan pada orang lain untuk memilih gagasan kita dan biarkan mereka menemukan apa yang akan menjadi terbaik untuk mereka.

Leave a comment